Minggu, 03 Agustus 2014

MENGINTIP JAKARTA

Jujur. Entah mengapa belakangan ini rasa malas begitu besar menguasai diri saya. Malas dalam segala hal. Segala hal sudah pasti mencakup semuanya. Semua tanpa terkecuali.

Saya percaya dengan ungkapan yang entah siapa pencetusnya, bahwa musuh terbesar adalah diri sendiri. Ketika saya harus melawan rasa malas yang hadir karena izin yang masuk dari diri saya, itu bukan hal yang mudah. Saya butuh banyak pemikiran lebih untuk bisa mengubur dalam-dalam penyakit yang hanya ada pada diri sendiri penawarnya.

Sabtu kemarin, setelah pulang dari kampung halaman ibu saya. Saya memutuskan untuk kembali mencari kegelisahan. Terlalu lama saya mengizinkan rasa malas itu mengendap tanpa perlawanan.

Saya memperhatikan ungkapan-ungkapan yang terlontar lewat tulisan di berbagai jejaring sosial. Hampir semuanya berisi dengan kalimat ‘on the way’, entah kemana dan kemana, entah nyata atau hanya sebuah kata. Saya berusaha untuk tidak peduli, tapi saya tertarik. Berbagai foto pun terpampang dengan background yang tak biasa, menandakan, kalau si pencetus kata ‘on the way’ itu benar melakukan perjalanan. Saya pun sama, ingin selalu melakukan perjalanan. Tak jauh. Bukan pula tempat yang masuk dalam kategori ‘amazing place’. Saya penasaran dengan kota yang sering kali mendapat cacian. Jakarta.

Perjalanan ini sudah sejak lama ingin saya lakukan, hanya saja banyak alasan yang membuatnya tertunda. Kesempatannya belum ada, ya, mungkin saja. Saya berniat mengunjungi sebuah pelabuhan yang ada di Jakarta, Sunda kelapa. Kenapa ? karena seseorang telah meracuni pikiran saya pada saat itu. Saya tak sengaja membaca sebuah twit di timeline, twit yang di share oleh seorang yang begitu saya kagumi. Memang, ya, seseorang yang kita kagumi itu berpengaruh besar dalam hidup kita. Ialah Windy Ariestanty, jika ia pernah berkata, saat ia melakukan perjalanan ke Maroko lantaran ia terobsesi mengikuti jejak Ibnu battuta, demikan pun dengan saya yang selalu ingin mengikuti setiap jejak yang ia tinggalkan. Ingin saya bongkar satu rahasia, saya begitu berambisi untuk sampai di tanah Flores, pun karena wanita berambut pendek itu pernah menceritakannya di dalam rangkaian kata. Selipkan doa, agar tak lama lagi saya bisa sampai di tanah Flores.

Pagi di stasiun bekasi saya tidak sendiri, ada Putri, seorang teman yang selalu tertarik dengan rentetan rencana perjalanan saya. Seorang teman yang tidak pernah merasa kapok dengan banyak hal bodoh yang terjadi karena rasa penasaran saya. Hanya saja, ia selalu berkata ‘Gue mau ikut lo jalan-jalan kemana aja, asalkan jangan naik gunung’ ya, ya, saya paham mengapa ia berkata seperti itu. Ada pengalaman yang membuatnya trauma dengan perjalanan tanjak-menanjak saat kita pergi ke Dieng.

Dalam gerbong yang tak pernah sepi, sebuah rasa hadir dalam batin yang terasa kosong. Suara kecil terdengar di sela-sela nyanyian mesin dari rel kereta ‘aku butuh kegelisahan dan keresahan, karena sebuah karya tak akan tercipta dari hidup yang nyaman-nyaman saja’ saya selalu ingat kata-kata itu, Alitt sutanto-lah pemiliknya. Kata-kata yang tak sedikitpun saya ragukan kebenarannya. Saya rindu kegelisahan. Belakangan, hidup saya berjalan datar, normal tanpa ada sesuatu yang membuat mata saya sulit terpejam. Ya. Kegelisahan itu tidak hadir sendiri, ia harus di cari.

Commuterline berhenti di stasiun tujuan akhir, Jakarta kota. Beos. Ada rasa gelisah yang muncul ketika saya keluar dari gerbong kereta, lalu melangkah di sepanjang peron ‘Gue bakalan nyasar enggak, yah ?’. Hah, rasanya rinduuuu sekali dengan pertanyaan macam itu. Iya, saya memang tidak pergi jauh, hanya ke Jakarta. Tapi serius, saya tidak tahu dimana letak Sunda Kelapa. Ada apa disana ? Dan, jika sudah sampai, apa yang mau saya lakukan ? Saya tidak tahu.

Saya memutuskan untuk berhenti sejenak di kota, tidak, saya tidak masuk ke museum Fatahillah. Saya hanya menonton keramaian, dan memesan sepiring ketoprak yang di temani segelas es kelapa. Hari masih pagi. Angka digital di ponsel saya menunjukan 9:57 AM.
barisan para pengunjung dalam ataupun luar kota
yang ingin masuk meseum Fatahillah
ketoprak yang pada hari itu seharga Rp. 13.000,-
& es kelapa seharga Rp. 5000,-
‘Ya, dari sini ke Sunda kelapa itu naik apa ?’ tanya Putri yang langsung membuat saya menghentikan kunyahan lontong di mulut saya.
‘Angkot. Jurusan Ancol, mungkin. Tapi gue baca, di jangkau jalan kaki juga bisa. Paling lima menit, tapi, enggak tau juga. Naik angkot aja-lah’
Putri hanya mengangguk pasrah. Mungkin ia sudah paham dengan saya yang tidak begitu suka mendengar banyak pertanyaan yang tak penting. Bagi saya, dalam perjalanan, tidak perlu banyak bicara, lakuin aja. Tinggal jalan aja kok repot. Paling enggak suka sama orang yang buanyak banget nanya, misal ; emang itu tempat apaan sih ?, sama siapa aja ?, kesananya naik apa ?, rame enggak ?, ah, enggak ada yang gue kenal, entar gue di cuekkin. Eh, eh, disana mau ngapain ?, jangan lama-lama, ya ! eh, gue enggak ikut deh. Nyebelin, kan ? Terserah, mau menilai saya seperti apa. Tapi saya memang tidak tertarik untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu, tapi kadang, saat rasa peduli saya sedang menggebu, saya akan dengan sabar menjelaskan. Ini enggak bohong lho ! ehehee

Saya menyetop angkot berwarna biru telur asin bernomor 15, bertanya pada pak sopirnya, lewat pelabuhan sunda kelapa-kah ? dan ternyata tak salah. Angkotan umum itu melewati pelabuhan yang tak sabar ingin saya kunjungi.
Tak jauh, beberapa menit saja, tapi sayangnya, saya kebablasan, saat seorang mengingatkan saya ‘Sunda kelapa ? udah lewat mba, itu disana’ saya buru-buru menyetop angkot itu, lalu turun dengan biaya tiga ribu rupiah. Kelewat beberapa langkah dari gerbang masuknya. Setelah bertanya kepada orang yang ada disana, saya pun melangkah yakin memasuki sebuah jalanan luas tanpa keramaian.
Putri mengeluarkan payung yang di bawanya, tidak hujan memang, cuma panas. Ya, kalau dekat enggak jadi masalah, masalahnya, jalanan beraspal itu panjang sekali. Kegelisahan menyelimuti batin saya, kegelisahan yang saya sambut dengan perasaan senang.
‘Kemana lagi, ya ? Belok apa lurus ?’ saya dan Putri berhenti di persimpangan, tak ada petunjuk.
‘Eh, itu ada kapal. Belok berarti’ mantap. Saya memilih jalan yang tidak lurus. Dan mungkin, saya sedang beruntung. Saya tidak membawa Putri ‘menemukan jalan lain’ (baca:nyasar).
jajaran kapal kayu berukuran besar
menepi dengan rapi
Saya melihat deretan kapal kayu besar berjajar rapi. Kapal-kapal yang punya nilai tersendiri bagi pandangan saya.
‘Lautnya mana, ya ?’ saya memicingkan mata ke sekitar. Tak ada air, tak ada suara air yang terdengar. Bahkan, saya berpikir kalau kapal-kapal tersebut menepi di atas aspal, bukan lautan.
Seorang pemuda yang sedang mengobrol dengan satu keluarga pengunjung tiba-tiba menjawab kebingungan saya ‘ini laut mbak, disana ujungnya’ jelasnya tiba-tiba sambil mengarahkan telunjuknya ke deretan kapal yang berjajar rapi. Saya mengangguk.
‘Kita kesana, yuk, Put’

Konyol. Jadi, ini yang namanya pelabuhan Sunda kelapa ? kayak gini doang ! Bisik suara kecil yang terdengar di kedua telinga saya. Oke. Di ujung sana pasti ada sesuatu. Ada dermaga yang eksotis di siang bolong ini. Juga ada berbagai macam stand penjual makanan. Sabar Aya. Jalan terus. Suara itu kembali terdengar.

‘Parah banget kita, Ya. Siang bolong jalan di jalanan kayak gini, panas banget. Untung gue bawa payung, mataharinya tepat di atas kepala kita’ gerutu Putri dengan wajah kepanasan.
‘Apalagi nanti pas hari kiamat, ya ?’ saya mengalihkan pembicaraan.
Putri diam sebentar, dan kita terus melangkah sambil mengomentari kapal-kapal yang ada di sisi kiri kita.
Selalu ada kata ‘akhirnya’ dan selalu ada ujung dari sebuah permulaan.
‘mana dermaganya ?’
‘Iya, enggak ada, ya ?’ saya clingak-clinguk. Mencari dermaga, tapi tak ada. Entah ada dimana.
Saya memilih duduk di batu panjang yang menjadi sisi dari tepian kapal-kapal itu. Saat itulah saya menemukan alasan yang membuat bisikan-bisikan kecil tadi enyah dari pikiran saya. Damai. Saya merasakannya ketika mendengar nyanyian air yang hadir saat bersentuhan dengan tepian batu panjang itu. Betah telah mengetuk ambisi saya untuk bertahan lebih lama di tempat itu. Sebuah pelabuhan yang sangat sederhana, tanpa keramaian, tanpa lalu lalang kebisingan, juga tanpa riuh para pengunjung. Namun di balik itu semua, pelabuhan sederhana itu menyimpan sejarah penting ibukota Negara ini.

Hari jadi Jakarta, di tetapkan pada tanggal 22 Juni 1527, dimana pada tanggal tersebut gabungan kerajaan Banten dan Demak di pimpin Sunan Gunung jati atau di kenal dengan nama Fatahillah berhasil merebut Sunda kelapa dari tangan Portugis, lalu menggantinya dengan nama Jayakarta yang artinya kemenangan yang nyata. Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang tiba di Sunda kelapa pada 1512 untuk mencari rempah-rempah yang amat diminati dunia Barat. Ya, guys, Indonesia emang sejak dulu terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya. Dunia tahu akan hal itu. Sunda kelapa itu dulunya adalah pelabuhan terpenting Pajajaran. Kemudian, pada masa masuknya Islam dan para penjajah Eropa, Kalapa di perbutkan antara kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Akhirnya, Belanda berhasil menguasainya cukup lama sampai 300 tahun lebih. Iya, nama awalnya, bukan Sunda Kelapa, tapi Kalapa. Kenapa sih, kok, Sunda kelapa di rebutin ? karena Sunda kelapa adalah pelabuhan terbesar di Jawa barat, pelabuhan tersebut pun begitu penting karena dapat di tempuh dari ibu kota kerajaan yang di sebut Dayo (dalam bahasa sunda modern : dayeuh yang berarti kota dalam tempo dua hari). Di benak saya, mungkin, saat itu, pelabuhan Sunda kelapa adalah satu-satunya pelabuhan yang letaknya strategis, jadi akses kemana-mananya mudah. Mungkin.
sunda kelapa tempo dulu
© id.wikipedia.org
sunda kelapa tempo dulu
© www.asia-construction.com
Beberapa menit berlalu, saya dan Putri masih duduk di kediaman awal. Sampai ada seorang laki-laki setengah baya menghampiri kami, entah siapa namanya, saya tak bertanya. Sebut saja, Bapak pelaut. Bapak pelaut itu menanyakan darimana kami, asli mana, kegiatan kami, dan banyak cerita yang ia ungkapkan tentang pelaut. Saya berusaha menjadi pendengar yang baik, walau terlihat jelas, Putri yang tepat duduk di sebelahnya merasa sangat tidak nyaman. Mungkin, karena beberapa pertanyaan yang keluar dari mulutnya merupakan pertanyaan privasi, seperti sudah punya pacar belum ?
‘Kita boleh naik ke atas kapalnya enggak, pak ?’ tanya saya kemudian, mengalihkan semua topik pembicaraan yang membuat Putri tidak nyaman.
‘Boleh, neng. Naik aja’
‘Semua kapal yang ada disini udah enggak berlayar, ya ? sekadar jadi pajangan aja buat di liat wisatawan ?’ saya memang melihat banyak turis yang berlalu lalang di sekitar pelabuhan.
‘Ini kapal semuanya masih di pake, neng. Ini sepi soalnya masih libur lebaran, kalau udah mulai aktif, rame banget, para pekerja pada tereak-tereak sambil ngangkutin barang dari truk, suara mesin kapal berisik’ jelasnya, saya sedikit lega dengan topik yang saya pilih.
‘Oh, jadi, sekarang sepi karena lagi liburan. Saya pikir, pelabuhan ini, enggak lagi beroperasi, cuma di jadiin tempat sejarah buat wisatawan, pantesan enggak ada tukang jajanan apapun, padahal, saya niat beli tahu gejrot disini, pak’ bapak pelaut itu tertawa kecil sebelum kembali menjelaskan ‘Tadinya ada banyak tukang dagang disini, neng. Cuma lama-lama enggak boleh, ngenganggu. Ini, kan area pekerja. Pengiriman barang’
‘Oh gitu, oh, ya, Pak, disini kalau malam rame ?’
‘Sepi, neng. Sepi banget’
‘Lho’ saya terkejut, jauh dari apa yang saya pikirkan ‘waktu itu saya sempat ngelihat foto kapal yang di upload sama teman saya di sini, sunda kelapa, foto kapal dengan lampu-lampu yang indah banget, pak’
‘kalau malam lampu-lampu emang nyala, neng. Lampu-lampu yang ada di kapal’
Saya mengangguk takzim, ‘kita boleh naik sekarang ?’
‘boleh-boleh’.
Saya pun menaiki tangga kayu dengan sisi tambang yang sedikit mengguncang jantung, tapi well, itu menyenangkan.
pemandangan dari atas kapal
entah apa namanya, saya melihatnya di dalam kapal
Dari atas kapal, saya dapat melihat lautan luas, dan langit Jakarta yang selalu saya kagumi.

Adzan dzuhur berkumandang, sekitar setengah satu siang saya berlalu, menuju masjid besar yang ada di mulut jalanan beraspal tersebut.
soto mie + nasi = Rp. 12.000,-
Perjalanan ke pelabuhan Sunda kelapa di tutup dengan santap siang semangkok soto di depan gerbang area tersebut. Satu-satunya penjual makanan yang ada tepat di sebrang jalan raya. Saya dan Putri menunggu angkot jurusan stasiun kota beberapa menit. Sialnya, ternyata, tak ada angkot arah balik disana. Saya harus berjalan dulu beberapa puluh langkah. Tapi sialnya lagi, saya mengambil belokan yang salah. Dengan jawaban seorang bapak-bapak yang sedang duduk santai di halte-lah saya tahu kalau saya sedang nyasar.
‘kesana, dek. Kamu nyebrang aja, itu-itu, naik minibus biru itu. Sampai kota’

Perjalanan belum selesai, guys. Saya lanjut ingin mengobati penasaran saya tentang taman Suropati. Taman yang terletak di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Taman yang setiap minggu pagi sampai sorenya di tongkrongi sama para seniman dalam komunitas musik jazz. Dan mereka semua akan menyuguhkan satu konser dengan bayaran dari penontonnya_seikhlasnya_ di sabtu malam. Yuhuuu ..

‘Lo tau, Ya, tempatnya ?’
‘Ya enggak tau, kan, lo tau gue’
‘Kita kemana dari kota ?’ si Putri, entah sudah berapa kali ia merasa kesal kalau berjalan dengan saya. Tapi ia selalu ingin mengulanginya.
‘Kata google nih, kita ke stasiun Cikini. Abis itu, naik bajaj atau ojek. Tapi, kalau mau naik angkot, jalan dulu ke arah Jl. Diponegoro, abis itu naik PPD 213. Turun deh depan taman Suropati. Disana tuh, ya, kalau hari minggu, apa sabtu gitu ada seniman jalanan pada berlatih. Kece banget, kan ?’
‘PPD apaan ?’
‘Angkot, metromini mungkin, atau kopaja’ tebak saya asal.

@Stasiun Cikini.
‘Ini dari sini kemana, Ya ?’
‘Tanya satpam’ Putri nurut, dia yang nanya ke satpam yang ada di depan stasiun. Nanyanya, dimana letak jalan Diponegoro atau taman Suropati. Deg. Dua satpam yang mendengar pertanyaan Putri saling pandang, lalu, satpam yang satu menunjuk ke arah kiri. Oke. Saya mengikuti petunjuk itu. Terlihat deretan bajaj sedang mangkal menunggu penumpang.
‘Ya, satpamnya itu ragu tau. Gue enggak yakin, deh’ Putri panik.
‘Terus kemana ? mau naik bajaj ? entar mahal lagi. Kita nyebrang aja’

@pasar kembang.
‘Dari sini kemana, Ya ?’
‘Bentar ! ini namanya jalan apa, ya ?’ saya clingak-clinguk nyari papan apa-lah yang ada alamatnya.
‘Nah, ini jalan Pegangsaan. Kita nyebrang lagi, masuk kolong jembatan. Ayok’ ajak saya yakin.
Jauh melangkah, saya tidak menemukan jalan Diponegoro. Saya kembali berhenti, di depan sebuah pangkalan metromini bernomor 17.
‘Coba buka google map’ saran Putri.
Oke. Saya buka google map, tapi sial, saya tidak pintar membaca petunjuk jalan tersebut. Baiklah, saatnya menggunakan feeling.
Saya dan Putri terus melangkah mengikuti Jalan, tanpa bertanya, karena memang sepi, tak ada orang yang berjalan.
‘Put, taman Suropati itu adanya di Menteng’
‘Menteng ? Itu tadi, Menteng kesana’ Putri menunjuk papan hijau di tiang jalanan. Ah, saya lega. Kita kembali melangkah. Tapi, kok, enggak nemu-nemu ya ? sampai akhirnya kita berada di jalan Surabaya. Jalan yang juga di kenal pasar antik. Sepanjang jalannya, di bahu jalanan sebelah kiri, berjajar penjual barang-barang antik. Saya kembali membuka google map dan feeling pastinya.
pasar antik di jalan Surabaya
‘Ini nih, Jalan Surabaya. Berarti kemana nih ?’
‘Belok’ kata Putri. Oke. Saya selalu ‘berusaha’ yakin dengan feeling saya sendiri. Tapi, sampai di ujung jalanan yang enggak ada pejalan kakinya, saya tidak menemukan jalan Diponegoro. Saya ambil arah kiri, lagi-lagi ada sebuah tiang dengan papan hijau yang bertuliskan taman Suropati lalu di bawahnya ada tanda panah ke kiri. Disana, di sepanjang jalan itu hanya terlihat rumah-rumah gedong, mewah, dan berpagar tinggi dengan gerbang yang tertutup. Sisi-sisi bahu jalannya rindang, saya seperti sedang tidak lagi di Jakarta. Kembali menyebrang, menurut google map, saya sudah berada di daerah Menteng. Ya, entahlah, saya hanya merasa kecil di tengah-tengah kompleks perumahan mewah itu.
‘Tadi mah naik taksi aja, Ya’ ucap Putri, entah ia kesal, capek, atau apalah.
‘Taksi mana mau jarak dekat’
‘Ini muter-muter kayak gini, enggak ada orang yang jalan, orang-orang pada ngeliatin, mungkin mikir, itu orang ngapain ?’
‘Ya, Put. Mungkin kita nyasar, karena ada gue.’
Putri menghela napas panjang. ‘Eh, itu ada warung. Ayo nanya’
Seorang bapak-bapak Chinese adalah pemilik warung di pinggir jalan itu.
‘Misi, pak, mau tanya. Taman Senopati di sebelah mana, ya ?’
‘Salah pengucapan kali’
‘Hah ? eh, Suropati maksudnya’ aduh Aya, masih sempat-sempatnya mesti di edit dulu dalam menyebutkan nama tempat.
‘Nah, kalau Suropati, tinggal lurus aja. Di ujung jalan sana letaknya, banyak anak muda pada nongkrong disana. Kalau Senopati, jauh, adanya di Senayan’
‘Oh, di ujung jalan sana. Makasih ya, Pak. Iya, maksud saya, Suropati’ saya menyengir, Putri celentang di tengah jalan raya. Hahahah.

Yes. Sampai di taman Suropati.




batu terapi untuk telapak kaki
seperti sandal kayu dengan bentuk menujam
supaya menusuk bagian telapak kaki

Oke. Perjalanan hari itu di tutup dengan santapan sore. Tahu gejrot khas Cirebon yang berkeliaran di taman itu. Tahu gejrot dengan harga delapan ribu rupiah per porsi. Harga yang bikin saya dan Putri tercengang.



‘Berapa harganya, Put ?’ tanya saya pada Putri yang baru membayar dua porsi tahu gejrot yang sudah masuk ke dalam perut.
‘Seharga bakso, delapan ribu’
‘Oh’ dalam hati -> ‘Apa ? Delapan ribu ? Parah, di rumah biasa dua ribuan’.
Sebelum pulang, saya dan Putri menyempatkan diri untuk mengerjakan tiga rakaat di dalam masjid Sunda Kelapa. Masjid dengan bangunan yang begitu penuh seni.
Sebelumnya, kita bertanya sama si abang tahu gejrot,
‘Masjid dimana ya, bang ?’
‘Sebelah sana, mbak. Di gedung Bappenas, nah, di belakang gedung Bappenas ada masjid Sunda Kelapa’
‘Masjid Sunda Kelapa ? masa ? yang benar’ saya shock, pikiran saya masih tertinggal di pelabuhan.
‘Iya, masjid Sunda kelapa di belakang gedung sebelah sana, mbak’
‘Ih, bang, tadi, saya abis dari pelabuhan Sunda Kelapa. Tadi saya solat dzuhur disana, jadi ? ya ampun ... ... jaraknya dekat banget, Sunda Kelapa sama taman Suropati’
‘………..’ abang tahu gejrot struk.
‘Aya !!!’ Putri epilepsi.

Oke, guys, di jelasin. Bukan. Jadi, di belakang gedung Bappenas itu emang ada masjid, dan namanya masjid Agung Sunda Kelapa. Bukan, itu bukan masjid yang ada di pelabuhan Sunda Kelapa. Bukan. Priok ke Menteng itu enggak dekat, catet ! 

IMHO -> Traveling itu bukan hanya soal tempat, tapi lebih kepada, bagaimana kamu bisa menikmatinya. Tak penting jarak ataupun teman seperjalanannya, semua ada di diri kamu. Selama kamu masih punya kedua kaki untuk melangkah, jangan pernah takut tidak bisa di sebut 'traveler'. Karena traveling pun hanya bagaimana kamu melangkah.


beberapa sumber sejarah di dapat dari id.wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar